Beranda | Artikel
Bahaya Tidak Mengikuti Tuntunan Nabi
Selasa, 21 April 2015

Buletin At-Tauhid edisi 15 Tahun XI

Segala puji hanya milik Allah Ta’ala, satu-satunya Rabb yang berhak untuk diibadahi, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beserta keluarganya, para shahabatnya, dan orang-orang yang selalu mengikuti mereka dengan baik hingga hari akhir.

Agama islam telah sempurna

Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala, diantara hal yang menjadi keutamaan agama islam diatas agama yang lainnya adalah kesempurnaan ajarannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhoi Islam sebagai agama bagimu” (QS. al-Ma’idah: 3), karena ajaran agama kita sudah sempurna, maka sudah sepantasnya bagi kita kaum muslimin untuk mencukupkan diri dalam menjalankan ajaran agama kita sesuai dengan apa yang sudah Allah Ta’ala tetapkan bagi agama kita, dan tidak boleh bagi kita untuk menambah atau mengurangi ajaran agama islam yang telah sempurna ini.

Pedoman utama agama islam

Setelah jelas bagi kita bahwa agama islam sudah sempurna dan tidak membutuhkan penambahan serta pengurangan ajarannya, maka wajib bagi kita untuk mengetahui pedoman dasar dalam agama kita sehingga kita dapat menjalankan agama dengan benar sesuai yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala.

[1] Pedoman yang pertama adalah Firman Allah Ta’ala yang berupa al-Qur’anul karim, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): “Kitab al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (QS. Al-Baqarah: 2)

[2] Pedoman yang kedua adalah sunnah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berupa hadits-hadits yang telah jelas datangnya dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): “Dan segala yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah ia, dan segala yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah” (QS. Al-Hasyr: 7)

Kedua pedoman inilah yang akan membuat kita selamat, baik di dunia maupun di akhirat, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Aku telah tinggalkan kepada kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”(HR. Al-Hakim, shahih)

Al-Qur’an dan Sunnah sesuai pemahaman para shahabat

Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala, dari kedua pedoman utama diatas yaitu al-Qur’an dan Sunnah, wajib pula bagi kita untuk memahami keduanya sesuai dengan pemahaman yang benar. Pemahaman yang benar tersebut adalah pemahaman para shahabat nabi radhiallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wajib bagi kalian berpegang teguh pada ajaran (sunnah)ku dan sunnah para Khulafa’ur Rasyidun sepeninggalku. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian, jangan sekali-kali mengada-adakan perkara-perkara baru dalam agama, karena sesungguhnya setiap perkara baru dalam agama adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu dawud dan Tirmidzi, shahih).

Dari hadits yang mulia diatas dapat kita ambil faidah bahwa kita diperintahkan oleh Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpegang dengan al-Qur’an dan sunnah sesuai dengan pemahaman para shahabat, serta menjauhi perkara baru dalam agama yang dengan tegas disebut oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bid’ah.

Pengertian bid’ah

Bid’ah menurut bahasa, diambil dari kata bada’a yaitu, “mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya”.

Sedangkan menurut istilah, bid’ah adalah: “cara baru dalam beragama, yang merupakan sesuatu yang dibuat-buat dan menyerupai syari’at, serta dilaksanakan dengan tujuan memperbanyak ibadah kepada Allah” (kitab al-I’thisom, Imam Syatibi)

Sehingga yang dimaksud dengan bid’ah yang dilarang oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu hal dan cara baru dalam perkara agama. Sedangkan hal baru dalam perkara dunia, semisal pesawat terbang untuk bepergian, mikrofon untuk mengeraskan suara, telepon untuk berkomunikasi, dan lain sebagainya dari perkara dan sarana dunia, maka ini tidak termasuk bid’ah secara istilah yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan beliau membolehkan dan mempersilahkan bagi kita untuk berinovasi seluas-luasnya dalam perkara dunia selama tidak melanggar syari’at, sebagaimana sabda beliau: “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian” (HR. Muslim). Adapun bid’ah di dalam perkara agama, maka beliau melarang keras akan hal itu karena bid’ah merupakan hal yang berbahaya bagi agama kita.

Bahaya bid’ah

Bid’ah dalam agama mempunyai banyak bahaya, baik bagi agama islam maupun pelakunya. Diantara bahaya bid’ah adalah:

[1] Amalan pelakunya tertolak

Orang yang membuat bid’ah dan mengamalkan bid’ah maka amalannya tidak diterima oleh Allah Ta’ala, berdasarkan hadits: “Barangsiapa melakukan amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

[2] Bisa mendapat laknat dari Allah Ta’ala

Setiap orang yang membuat bid’ah dalam agama maka hakikatnya telah melakukan sesuatu hal yang dimurkai dan dibenci oleh Allah Ta’ala, karena telah mengubah-ubah aturan dan agama yang diturunkan oleh-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang berbuat bid’ah atau membantu pelaku bid’ah, maka baginya laknat Allah, para malaikat-Nya dan seluruh manusia” (HR. Bukhari dan Muslim)

[3] Pelakunya sulit untuk bertaubat

Banyak dari pelaku bid’ah akan sulit untuk bertaubat, karena merasa apa yang dilakukannya adalah sebuah ketaatan. Bahkan tak jarang ketika kita menasihati mereka agar meninggalkan perbuatan bid’ahnya, mereka akan memusuhi kita dan menjuluki kita dengan sebutan yang tidak baik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah menutup taubat dari seorang pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya.” (HR. at-Thabrani, shahih). Demikian pula penjelasan dari Imam Sufyan Ats-tsauri rahimahullah, beliau berkata: “Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat, sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat” (Talbis iblis, ibnul jauzi).

[4] Perkara Bid’ah dapat menghilangkan sunnah

Salah seorang ulama tabi’in, Imam Hasan bin ‘Athiyah rahimahullah berkata: “Tidaklah suatu kaum melakukan suatu bid’ah melainkan Allah akan mencabut suatu sunnah yang semisal dari lingkungan mereka” (Lamud-duril mantsur). Salah satu contoh sederhana dari bahaya ini adalah meredupnya sunnah membaca sural al-Kahfi pada malam jum’at, dan berganti dengan membaca surat yaasin secara bersama-sama. Padahal dalil membaca surat yasin adalah sangat lemah, sedangkan dalil membaca surat al-kahfi adalah shahih, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa membaca surat Al Kahfi pada hari Ju’mat, akan diberikan cahaya baginya di antara dua Jum’at.” (HR. al-Hakim dan Baihaqi, shahih)

Imam Syafi’i rahimahullah menjelaskan: “Aku juga menyukai surat al-Kahfi dibaca pada malam Jum’at” (Shahih Al Adzkar).

Tidak ada bid’ah hasanah

Sebagian saudara kita kaum muslimin masih mempunyai keyakinan bahwa bid’ah dalam agama ada yang baik atau hasanah. Mereka berdalih dengan perkataan shahabat Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu maupun sebagian para ulama yang membagi bid’ah menjadi beberapa jenis. Maka perlu diketahui bahwa pembagian tersebut hanyalah pembagian bid’ah dari sisi bahasa, bukan dari sisi istilah syar’i. Imam ibnu rajab rahimahullah berkata: “Adapun perkataan sebagian  ulama terdahulu yang menganggap adanya bid’ah yang baik, maka yang dimaksudkan adalah bid’ah lughowi (bid’ah secara bahasa) dan bukan menurut istilah syar’i”(jami’ul ‘ulum wal hikam).

Adapun bid’ah secara istilah syar’i, maka telah jelas dan tegas dijelaskan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, para shahabatnya, maupun para ulama, bahwa semua bid’ah adalah kesesatan dan tidak ada bid’ah hasanah. Berikut adalah sebagian nukilannya:

[1] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jauhkanlah diri kalian dari perkara-perkara yang baru dalam agama, karena setiap perkara yang baru dalam agama adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat” (HR. Abu dawud, shahih)

[2] Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma berkata: “Setiap bid’ah adalah kesesatan, meskipun sebagian manusia memandangnya sebagai hasanah (kebaikan)” (al-Ibanah, Ibnu Baththah)

[3] Imam Malik rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang berbuat suatu bid’ah dalam Islam yang dia anggap itu adalah suatu hasanah (kebaikan), maka sungguh dia telah menuduh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah” (al-I’tishom, As-Syatibhi)

[4] Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang menganggap baik (perbuatan bid’ah), sungguh dia telah membikin syari’at tandingan.” (al-Mankhul, al-Ghazali)

[5] Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata : “Pokok sunnah di sisi kami adalah berpegang teguh dengan apa-apa yang para shahabat Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berada di atasnya, meneladani mereka serta meninggalkan bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (Ushul Sunnah, Imam Ahmad)

Penutup

Sebagai penutup, penulis dengan penuh kerendahan hati mengajak kepada para da’i, para ustadz, dan masyarakat secara umum untuk bersama-sama berusaha meninggalkan dan menghilangkan amalan maupun keyakinan bid’ah yang telah banyak tersebar disekitar kita. Meskipun bid’ah tersebut telah mengakar dan membudaya ditengah-tengah kita, hendaknya tidak menyurutkan langkah kita untuk terus berupaya membersihkan agama kita dari noda-noda bid’ah. Tentunya dengan ilmu serta dakwah yang hikmah, mengedepankan kelemah lembutan dan akhlak yang baik, agar ajaran agama islam yang kita cintai ini kembali murni sebagaimana yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Wallahu a’lam

Penulis : Nizamul Adli Wibisono, ST (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)

Murojaah : Ust Afifi Abdul Wadud, BIS

 

Pertanyaan

Sebutkan pengertian bid’ah secara istilah?

Jawaban

Cara baru dalam beragama, yang merupakan sesuatu yang dibuat-buat dan menyerupai syari’at, serta dilaksanakan dengan tujuan memperbanyak ibadah kepada Allah


Artikel asli: https://buletin.muslim.or.id/bahaya-tidak-mengikuti-tuntunan-nabi/